Digging for Treasure

“Pejalan” yang disebut Ibadurrahman

falihashidqiya
6 min readApr 19, 2024

Kata Pengantar

Lima tahun yang lalu, tahun 2019, telah dimulai suatu pengkajian dan riset oleh saya sendiri (hehe) saat memasuki bulan Rajab. Sebuah momentum yang — pada saat itu, aku nggak ngerti kenapa sebagian orang begitu meng-spesialkannya, menyebutnya dengan “bulan menanam”. Pengkajian ini juga sebagai salah satu pengalaman ruhiyahku yang, honestly, sangat aku rindukan. Ouput kajian ini aku ga sengaja nemuin hubungan antara beberapa variabel yang keterkaitannya (mungkin) bisa membersamai perjalanan ruhiyah Rajab-Sya’ban-Ramadan(ku) di tahun depan (yak siapin aja ya ges ya ilmunya dari sekarang).

Tentu hal ini nggak lepas dari ketertarikanku dahulu terhadap beberapa ‘objek’. Saat mengkaji, aku mengonsumsi beberapa literatur (buku/video kajian) seperti Biografi Maryam binti Imran, kajiannya; intisari Kitab Ihya Ulumuddin, kajian Qs. Al-Isra:1 dan Qs.25:63–77, story instagram-nya Teh Farah Qonita (wkw), dan buku ‘Return of the Pharaoh’. Dan biar lebih ngena vibe Ramadannya, mari kita dengarkan musik ini haha.

Jadi, informasi-informasi tersebut bikin aku menemukan banyak “AHA” yang aku-nggak-tahu apakah bisa disampaikan secara jelas lewat tulisan ini atau tidak. Jadi kalau sudah baca dan gapaham tapi tetep tertarik, aku bersedia untuk diajak ngobrol :) kurang apa gw

Pendahuluan

Latar Belakang

Rajab, selain dari nama lainnya “bulan menanam” itu, ia identik dengan adanya peristiwa agung di penghujung bulannya, 27 Rajab, yaitu Isra’ Mi’raj. Peristiwa ini disebut oleh Allah dalam surat Al-Isra ayat pertama, tentang Keagungan perbuatan Allah yang memperjalankan ‘abdihi (hamba-Nya) pada malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa. Banyak tafsir yang menyebutkan bahwa ‘abdihi’ ini maksudnya adalah Nabi Muhammad saw dan sebutan ini merupakan gelar mulia karena beliau saw. adalah sebaik-baik manusia dan yang paling sempurna penghambaannya kepada Allah. Peristiwa ini yang menjadi awal dilegalkannya perintah salat 5 waktu bagi umat Islam.

Sebagai seseorang yang menyema(-nga)tkan dirinya sebagai hamba Allah, tentu kita, manusia biasa, juga ingin mempersembahkan penghambaan kita yang terbaik. Dan kita ingin supaya hikmah perjalanan Isra’ Mi’raj bukan hanya sebatas pengetahuan sejarah, tapi peristiwa dan ayat ini juga membawa kita pada pengamalan nyata. Kita bisa berupaya untuk sadar bahwa kita adalah hamba yang sedang diperjalankan-Nya dalam perjalanan yang agung. Dan aku rasa, sebagian dari kita (manusia biasa) telah membuktikan adanya perjalanan hamba yang agung itu. Taunya dari mana? Sejarah dan sirah dungs. Jadi, menurut hematku, pasti ada yang bisa kita upayakan untuk menjemput hal tersebut.

(Agak) Meninjau Pustaka

Penghambaan (al-‘ubudiyah) yang jika disandarkan kepada Allah (setidaknya) ada dua: penghambaan dalam rububiyah dan penghambaan dalam uluhiyah. Penghambaan rububiyah bermakna bahwa semua manusia adalah hamba (makhluk) ciptaan Allah (Qs.19:93). Namun yang dimaksud dengan Ibadurrahman adalah hamba yang berkaitan dengan uluhiyah, yaitu hamba yang berhasil mewujudkan peribadahan dalam keseharian mereka kepada Allah.

Hal ini sama seperti ketika Allah menguji Nabi saw dalam hal peribadahan, seperti pada peristiwa Isra Mi’raj (Qs.17:1). Oleh karena itu, “hamba” yang dimaksud dalam ayat ini adalah hamba-hamba spesial yang mereka tunduk dan beribadah kepada Allah dalam setiap sikap mereka. Dan orang yang paling puncak dalam mewujudkan kehambaannya ialah Rasulullah Muhammad saw.

Kenapa disebut dengan Ibadurrahman, bukan Ibadullah? Syaikh Nasir As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan bahwa mereka ini bisa menjadi hamba-hamba Allah karena kasih sayang Allah swt. Jadi seseorang sadar bahwa ia bisa melaksanakan peribadahan kepada Allah tiada lain adalah karena karunia Allah swt kepadanya. Allah menyebut sifat-sifat Ibadurrahman dalam Qs.25:63–74 (bisa dibaca sendiri), yakni:

1. Tawadhu/ jauh dari kesombongan.

2. Ketika bertemu dengan orang lain, maka mereka menyatakan sikap yang mendatangkan keridhoan Allah swt (salam) dan tidak melampiaskan nafsunya.

3. Memiliki perhatian dalam melaksanakan ibadah di malam hari, khususnya sholat.

4. Khauf dan dia tidak ujub (berbangga diri) dan merasa dirinya suci dari dosa.

5. Mereka berdoa agar dihindarkan dari siksa jahannam.

6. Mereka yang apabila membelanjakan hartanya tidak berlebihan (mubadzir) dan tidak juga pelit.

7. Menjauhi dosa-dosa besar dan sifat-sifat buruk. Apabila ia menyadari dosanya, maka ia akan bertaubat, beriman, dan menggantinya dengan amal soleh.

8. Orang-orang yang tidak menghadiri hal-hal yang tidak berfaedah/syubhat/syahwat.

9. Mereka yang tidak mengerjakan perbuatan yang sia-sia.

10. Jika datang kepada mereka ayat-ayat Allah, mereka mendengarnya dan tadabbur.

11. Mereka berdoa untuk anak keturunan, berusaha menjadi teladan, dan tidak hanya memikirkan keselamatan diri mereka sendiri.

(selengkapnya berikut tafsirnya bisa baca sendiri)

Jadi, kalau mau mengikuti langkah-langkah menjadi sosok Ibadurrahman, teladanilah Rasulullah dalam tawadhunya, salat malamnya, kasih sayangnya dalam habluminanas, dan lain-lain sifatnya. Pelajari juga kisah orang-orang yang telah berhasil menjalankan penghambaannya kepada Allah.

Maryam binti Imran dan Zainab Al-Ghazali

Dan salah satu tokoh yang — sejak pertama aku mendalami arti dari ayat-ayat Alquran yang menceritakan kisah penghambaannya dan aku sangat takjub — adalah Sayyidah Maryam binti Imran.

Dan (ingatlah) ketika para malaikat berkata, “Wahai Maryam! Sesungguhnya Allah telah memilihmu, menyucikanmu, dan melebihkanmu di atas segala perempuan di seluruh alam (pada masa itu)

[Qs.Ali-imran (3):42]

Banyak ulama mengatakan, bahwa ada beberapa indikator mengapa Allah menjadikan Maryam sebagai wanita yang terpilih dan mengangkatnya sebagai wanita terhormat. Hal pertama yaitu karena kualitas pribadinya. Maryam adalah hamba Allah yang sangat taat dan ketaatannya menjadi inspirasi bagi Nabi Zakaria. Kalau kata Teh Farah Qoonita,

Penghambaan sepanjang waktu, siang dan malam, yang dengannya Allah menjamin keselamatan kepadanya; memberinya rezeki langsung ke atas mihrabnya; mengutamakannya di atas wanita-wanita di seluruh dunia di setiap zaman. Dan di atas itu semua, tiada lain-tiada bukan dia hanyalah seorang manusia biasa juga, yang memiliki keinginan, memiliki perasaan, dan ya, intinya seperti kita manusia pada umumnya.

Yang lebih menakjubkan yaitu mengetahui bahwa kemuliaan-kemuliaan itu ia dapatkan sejak usianya remaja. Jadi bukan soal kuantitas penghambaan yang berpuluh-puluh tahun seseorang bisa mendapat kemuliaan, tapi dengan kualitas penghambaannya yang terbaik.

Selain Sayyidah Maryam binti Imran, Bapak dulu sering cerita tentang hebatnya Zaynab Al-Ghazali dalam sifat penghambaannya kepada Allah. Karena penasaran sosoknya, aku membaca catatan kisahnya di penjara Nasir dalam buku Return of The Pharaoh. Bukunya tipis, and I highly recommend you to read (enjoy) the book. Meski berlatar sel-sel dan tempat penghukuman manusia, di situlah Allah menunjukkan Kemuliaan dan memuliakannya. Tiada kata yang terucap, perilaku yang terpancar, kesabaran yang tersemat, melainkan semuanya didasari penghambaannya kepada Allah.

Diskusi (?)

Setelah penjelasan pustaka yang dangkal, jadi apa hubungannya Rajab-Sya’ban-Ramadan, sosok Ibaadurrahman, dan beberapa cerita ibu-ibu mulia di atas?

Aku lebih menarik-nya sebagai suatu rahasia ‘digging for treasure’: penggapaian profil keren (Ibaadurrahman) yang bisa di-accelerate dalam 3 bulan marathon. Salat, sebagai oleh-oleh dari perjalanan Isra Mi’raj-nya Rasul, sebenarnya adalah kunci perjalanan itu sendiri bagi hamba-hamba-Nya yang ingin mengikuti perjalanan agung hamba Terkasih. Karena salah satu amalan Ibaadurrahman dalam Qs.25: 64 adalah ibadah malam (sujud dan berdiri) yang biasa kita sebut dengan salat malam.

Maka, Rajab adalah bulan evaluasi sifat dan amal salat-salat kita; Sya’ban adalah bulan pemeliharaan; dan Ramadan adalah bulan merekah. Dimana banyak orang mencari di dalamnya malam Lailatul Qadr dengan memperbanyak salat dan ibadah-ibadah lainnya. Bukankah semua itu akan terasa lebih bermakna jika kita sudah membiasakan diri dalam memelihara salat-salat kita?

Beberapa waktu persiapan Ramadan tahun-tahun lalu, aku menyengaja untuk menghafal surat 19 (Maryam) dan 20 (Taha) untuk kubaca berulang-ulang di salat malam Ramadanku. Mencoba menerapkan “sujudnya lama, rukuknya lama, berdirinya lama”.

Oh ya, aku juga pernah ngobrol sama orang yang kebetulan nama panjangnya “Ibadurrahman” haha, aku nanya arti namanya apa, lalu dia menjelaskan dengan elaborasinya yang sangat menarik.

Malah dia punya pandangan yang lebih terkesan “wah banget nih pasukan elit”, Ibaadurrahman. Dari pandangannya yang seperti itu, aku rasa masih ada lebih banyak rahasia-rahasia yang tersirat dalam makna “Ibaadurrahman”.

Kesimpulan dan Saran

Kira-kira, kesimpulan akhirnya terkesan cliche ya? Rajab adalah bulan evaluasi; Sya’ban adalah bulan pemeliharaan; dan Ramadan adalah bulan merekah. Tapi mendengar itu aku jadi punya pemaknaan yang praktis. Punya gambaran — profil yang merekah itu seperti apa.

Saran yang berdasarkan pengalaman:

  1. Kalau usaha ini hanya berhenti pada upaya “penggalian”, sembari bersusah payah membawa kunci harta karun itu, hanya nikmat penggalian itu yang kita dapat; maka jangan lupa untuk membuka harta karunnya dan menikmatinya. Maksudnya, ilmu tanpa amal adalah kerugian bukan?
  2. Tulisan ini berlumut di draf sejak bulan Rajab 1445 H, sampai aku selesaikan hingga hari ini. Rencananya akan aku publish mendekati Rajab tahun depan, tapi aku rasa kita butuh persiapan untuk 3 bulan marathon nanti. Jadi selamat kamu yang baca hingga akhir :) Semoga mendapat satu-dua inspirasi dari tulisanku dan berencana untuk mempersiapkan & mendaftar 3 bulan marathon tahun depan!
  3. Karena ku bilang ini adalah penggalian yang dangkal, jadi jangan lupa terus menggali lebih dalam dan let me know kalau kalian dapet treasure lain ya :D

--

--

falihashidqiya

Suka untuk mengikat temuan-temuan baru, senang juga bila teman-teman ikut tau.