Murid, The Willer

falihashidqiya
11 min readNov 26, 2022

--

“Gemuruh pesatuan di jiwa
Erat lekat
Membara di dada
Menghujam penyerang
Mencabik penindas
Keadilan
Harus ditegakkan
GEMURUH!!”

Salah satu budaya Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB ketika melepas para wisudawan dengan hormat, adalah dengan semangat Gemuruh. Suaranya menggema di ruang-ruang sunken court ITB, menggemparkan hati setiap massa himpunan, mengangkat tangan kanan yang terkepal, menghentakkan kaki. Oktober 2022, kali pertama aku ikut mengarak wisudawan yang mengenakan toga, pakaian kehormatan para akademisi tanda telah menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana, untuk memeriahkan.

Fal, aku jadi pengen cepet-cepet wisuda,”

Ada aja hari-hari di perkuliahan ini yang membuat resah. Memikirkan bakal ada kurang lebih tiga tahun ke depan akan kujalani di kampus ini. Mungkin nanti akan sampai juga pada hari yang ditunggu-tunggu itu, wisuda. Tapi, kenapa ditunggu-tunggu dan kenapa ingin cepat-cepat?

Loh, emangnya udah dapet apa aja?” (that was my answer)

Pendahuluan

Aku sering berdiskusi ringan dengan teman-temanku, tentang perasaan ber-realita-ria selama mengampus. Pergi kuliah dan mendengarkan lecture, duduk di posisi yang bukan terdepan, materi kadang masuk dan kadang engga. Besoknya sama, kalau ada tugas dikerjakan seadanya, kalau dosen ngga masuk kayaknya jarang deh untuk belajar mandiri, tapi kadang juga merasa “materi kali ini masuk sih”. Lalu pulang, dengan segudang rasa letih akhirnya istirahat juga, nongkrong sama temen, tugas masih ditumpuk sampai sehari sebelum waktu pengumpulan. Kemudian dengan banyaknya hari berlalu, akhirnya sampai juga pada ujian akhir, belajar dari bundel soal kakak tingkat, minta catatan teman, berharap open book. Tapi hal itu terjadi pada sebagian orang, masih ada juga kok orang-orang yang punya ambisi dan bener-bener memperhatikan proses belajarnya dari hari ke hari.

Dari tahapan yang benar-benar siklik, tanpa berefleksi, seringkali terlewatkan untuk kita kembali mempertanyakan pada diri sendiri, “Udah dapet apa aja?

Jurnal Semester Tiga

(Disclaimer: karena ini salah satu media tulis-menulis to my own journey, mungkin ada yang ngga relate, though I hope y’all guys can take a lesson from it.)

Semester tiga di ITB adalah tanda mulai memasuki pembelajaran dengan ranah yang lebih spesifik: penjurusan. Selain itu, rasanya ngga ada perbedaan signifikan yang membersamai terbukanya lembar-lembar kalender dalam tahun ini. Beban tanggung jawab masih ada, cara belajar masih sama, kami hanya berganti nama. Oh ya, satu lagi. Kuliah offline.

Salah satu keberuntunganku saat itu adalah bertemu orang-orang, saling berbagi perspektif, saling belajar. Cerita-cerita mereka cukup menjadi pemantik untuk mengembangkannya dalam pikiranku sendiri. Dan mungkin cukup juga untuk merepresentasikan jawaban dari pertanyaan, “udah dapet apa aja?

And here they are~

Konsep Batu-nya Kang Sayyid

Beliau adalah kakak kelasku di SMA 5 Bandung, beda dua tahun, dan kebetulan sekarang kami ada di fakultas yang sama: FTSL ITB. Dia sangat aktif di bidang sosial masyarakat, dan pernah menjadi ketua pelaksana KKN ITB 2022. Singkat cerita, aku tanya-tanya hal-hal yang pengen kutau dari perkuliahan ini: tips perkuliahan, memilih wadah belajar, dsb. Menariknya, Kang Sayyid bisa bungkus itu dengan sangat rapi, aku inget konteks dan nilai yang beliau coba sampaikan.

“Tentang pilihan. Fal, bayangin deh kamu ingin jalan dan sampai dari Lapangan Bali ke SMA 5. Di tengah perjalanan, kamu pasti bakal nemu batu-batu, pengen banget kamu ambil karena menarik. Akhirnya kamu ambil semua batu itu, digenggam, ditendang, diangkut, dimasukkin ke karung, apapun itu, tapi saranku satu: Ketika sampai di SMA 5, jangan sampai kamu baru sadar bahwa sebagian atau bahkan semua batu yang kamu bawa itu hanya memberatkan perjalananmu untuk sampai pada tujuan.”

Noted. Aku bakal inget itu untuk setiap proses yang bakal aku jalanin, dengan beberapa bulan setelah ngobrol itu aku banyak ngambil tanggung jawab haha. Ternyata membalikkan setiap batu untuk tau apa ia -bisa dan tepat- untuk kubawa atau engga, juga adalah hal yang sulit. Yaudah kubawa aja semua, aku mikirnya, pasti berguna kok :)

Jadilah ketua divisi pre-event aksang Gamais, korlap SSC 33, formatur ekspedisi sekaligus ekspeditor ETA 2, wakil divisi Distribusi Qurban P3RI, ikut kaderisasi Pelita Muda V, wakil ketua divisi materi dan metode Simfoni GAMAIS, dan wakil ketua SSC 35. Walau ngga dalam waktu bersamaan, tapi ada aja yang beririsan. Begitulah, Kang Sayyid, batu yang menariknya banyak haha.

Why-How-What-nya Rakean

Di tengah perjalanan, ada satu batu yang rasanya pengen aku lempar karena ada batu lain yang kugenggam ternyata sangat berat. Tapi melepasnya bukan hal yang memperbaiki keadaan juga: ikut ngurus P3RI di Masjid Salman. Karena aku hilang selama satu bulan ekspedisi ke NTT, nggak ada sinyal, dunia P3RI hampir nggak ada di pikiranku sama sekali sampai aku dapet sinyal lagi di Labuan Bajo. Ketinggalan banget sama info-info, tentu, apalagi kadiv aku lumayan pusing juga untuk ngurus ini-itu. Akhirnya masalah -aku hilang ini- terdengar juga sama ketua P3RI 1443 H, Rakean. Dia juga kakak kelasku di SMAN 5 Bandung, sekarang anak MR ITB, beda satu tahun.

Mungkin dia simpati, aku pasti menghilang karena suatu alasan. Nggak disengaja sih ngilangnya, tapi dari sana akhirnya aku dapet ceramahan dia, “Fal, learn to eliminate deh,” dan semacamnya sampai bilang, “Mungkin semua ini bukan persoalan membalikkan setiap batu dalam pencarian mana yang tepat. Tapi persoalan memberikan cukup kesempatan pada tiap batu untuk digenggam dan dirasakan dengan penuh perhatian. Barangkali ternyata pas di tangan. Tentu menggendong sekian banyak hingga tangan penuh bukan termasuk memberikan cukup kesempatan. ”

Maksudnya bukan learn to eliminate jadi melempar satu per satu batu yang udah kita ambil lalu dibiarkan tergeletak begitu saja. Hal-hal semacam, menguasai priority management adalah keharusan. And always to pay attention ketika kita sudah memilih dan menggenggam batu tersebut, biar dirasakan pembelajarannya.

Ngomong-ngomong tentang pilihan, aku jadi penasaran sama perjalanannya, terutama pilihannya untuk memimpin kepanitiaan terbesar Salman, ya jadi ketua P3RI yang bakal terikat satu tahun kegiatan volunteering. Setelah itu, memilih untuk ikut program IISMA, lolos pula :D, nggak lama setelah lengser, terbang juga ke US.

Dari ceritanya, ada hal yang bikin aku sadar bahwa, nggak cukup untuk terus-menerus memenuhi jawaban “why” kita tanpa diiringi dengan pemenuhan jawaban dari “how” dan “what to achieve”. Basically, kenapa kita memilih satu batu (re: tanggung jawab), ya karena alasan kebermanfaatan, kebaikan (bahasa langitnya: pahala), mungkin juga kebenaran. Tapi nggak cukup sampai situ, memiliki professional capacity juga perlu diperhatikan, dilatih. Biar menjadi sesuatu yang exist di masyarakat juga perlu ketekunan untuk bisa qualified. Dan untuk melatih itu, perlu banget strategi dan tempat pembelajaran yang tepat. Kalau ada yang ngga tepat?

Biarlah posisi-posisi di situ dipegang oleh orang yang lebih butuh pembelajarannya,” katanya.

Biarlah batu itu akan digenggam oleh orang-orang yang membutuhkannya untuk dibawa.

Spiritual-Intellectual-Emotional Balancing-nya Fahryan

Ketika hampir semua tanggung jawab yang sebelumnya hampir selesai, I intended to learn about mamet (divisi yang merancang kurikulum, materi, dan metode). Dan jadilah aku sebagai ketua divisi kurikulum di suatu program kaderisasi pengabdian masyarakat, namanya Serambi Sekolah Pengmas. Tertarik keduanya sih, kaderisasi sekaligus pengabdian masyarakatnya juga. Kebetulan aku punya ilmu dikit-dikit dari kaderisasi Pelita Muda waktu itu, dan ada sedikit pengalaman ekspedisi. Saat meng-gawe (re: kerja) di divisi ini, aku punya orang yang unofficially dinobatkan menjadi mentor-ku: Fahryan. Dia kakak tingkatku juga di FTSL dari SMAN 4 Bandung, beda satu tahun, dan kami bersinggungan karena satu fakultas. Aku jadi bawahan dia di Qurban P3RI 1443 H, dan ya kami sama-sama “ngilang” karena ekspedisi HAHA :’(

Dan tau ngga sih, waktu keberjalanannya, banyak juga tuh batu-batu yang menarik untuk aku bawa, tapi aku ragu dan aku tolak. Alasannya, ya aku lagi nggak merencanakan untuk belajar hal-hal tersebut. Tapi agak goyah sih wkw terutama ketika lingkungan temen-temen pada ambil tanggung jawab di tempat yang sama, dan aku agak berbelok. Di saat-saat goyah ini, aku cerita ke Fahryan biar seenggaknya aku bisa percaya diri lagi untuk bisa menggenggam satu batu ini dengan fokus.

Menariknya, dia jadi cerita tentang dirinya yang membagi porsi aktivitas dia into three: spiritual, intellectual, and emotional. Hal ini divalidasikan dengan hasil sharing dia dengan keluarga jahimnya. Volunteering harus, biar mengasah emosional, mungkin skill juga, tapi ya jangan 100% waktu dihabisin untuk itu. Ada banyak hal yang masih harus kita improve.

Tau ga apa yang aku suka pikirin klo lagi ditawarin?

“Apa?”

Ada puluhan kitab ilmu agama dasar yang belum dipelajari, bahkan bahasa arab pun ga kelar-kelar.”

Kalau dalam produktivitas, hal yang nggak boleh kita lewatkan adalah self-improvement, termasuk di dalamnya adalah soft skills dan hard skills. Dan dari ketiga aspek spiritual-intellectual-emotional, bukan berarti harus satu wadah untuk satu aspek. Kita bisa menyeimbangkan itu dengan strategi masing-masing.

Implementasi sederhananya mungkin, masukkan ibadah-ibadah mahdhoh ke dalam list kesibukan, masukkan juga hal-hal yang ingin dipelajari seperti bahasa, software, atau skill lain dalam kesibukan. Dengan begitu, kita jadi punya alasan dan arah dalam menyusun produktivitas kita sendiri.

(bagian pembelajaran jadi mamet dengan Fahryan insyaAllah aku ceritain di tulisan yang lain)

S-I-B-U-K-nya Arie

Arie adalah kembaranku. Sebenernya aku dapet pembelajaran dari dia mostly bukan karena ngobrol, tapi karena memperhatikan, dan diperjelas aja dengan ngobrol berjam-jam akhirnya hampir telat masuk kuliah.

Dari serangkaian perjalanan, menghadapi huru-hara what’s it like to be an identical twin, keduanya lumayan udah ngerasain pressure dari orang-orang atau kondisi yang terlalu membanding-bandingkan. Bukan sih, lebih tepatnya kita yang jadi merasa lingkungan terlalu membandingkan. And it’s hard. Sampai akhirnya, yaudah normal kok, aku juga menerima being Faliha yang begini-begini dan Ariefah yang begitu. Dan yang aku syukuri, paham betul enaknya apa, adalah kita saling belajar, memperluas perspective.

Ngeliat dia, aku ngerasa bener-bener ngeliat penampakan orang yang bisa menggenggam banyak batu, dan bener-bener fokus terhadap masing-masing genggamannya. Pace jalannya cepet, malahan ada orang-orang ngerasa terseok-seok kalau jadi partner-nya. Mungkin. Aku liat begitu. Dan aku, masih belajar.

Setelah menggenggam banyak batu, ketua P3RI 1444 H lagi-lagi menawarkan batu yang menarik untuk diambil. Aku tau Arie bingung, dan ngga mau orang-orang berpandangan bahwa she’s a yes woman.

A week.

Akhirnya dia ambil juga, bukan tanpa pertimbangan dan karena ngga ada kesibukan. Sepadet-padetnya dia ambil ini-itu, dia merasa masih ada yang bisa dioptimalkan, masih ada yang bisa dikerjakan, tanpa meninggalkan tanggung jawab yang lain. Tanpa meninggalkan target-target dalam aspek spiritual dan intelektual di perkuliahan. Bisa-bisanya dia bilang,

“De, kok gw gabut ya?”

The point is menjadi orang yang percaya dengan diri sendiri, walau sebenarnya coba-coba ingin tau batas diri. Percaya diri karena tau her capacity, her pace. Percaya diri karena yakin Allah pasti bakal kasih pertolongan.

Satu-satunya hal yang dia kesel kalau kerja dengan orang lain adalah orang-orang yang mispersepsi tentang priority management. Kalau kita disibukkan dengan banyak hal, bukan berarti ada hal-hal yang bisa dilepas menurut prioritas, yang ujungnya menzalimi orang lain yang ditaruh bukan pada prioritas utama kita. Dalam Eisenhower matrix, seharusnya “Delegate it” cukup menjadi jawaban, tapi harus terlebih dahulu didefinisikan dengan jelas dan tetap jangan dilepas begitu aja. Semua amanah adalah sama, harus dipertanggungjawabkan.

“Emang prioritas lu apa?”

Belajar amanah, gw pengen bisa ngelakuin hal that I’m getting involved with. Gw bisa belajar dari wadah yang seperti ini kondisinya. Yang pasti, ini bisa jadi representasi sejauh mana gw bisa amanah dalam segala hal dan kondisi, mungkin suatu saat bakal lebih banyak kesibukan karena tuntutan umat. Kalau bukan gw, siapa lagi?

Ada juga orang-orang yang mau menggenggam batu kasar, besar, untuk belajar darinya. Dan ternyata, yang harus dipelajari bukan hanya batunya aja, tapi bagaimana kita adil memegangnya.

Xandra

Ekspektasi dalam pembelajaran tentunya adalah hasil yang bagus. Aku banyak cerita sama Xandra tentang perasaan-perasaan saat aku akhirnya ketok palu untuk fokus sama satu tanggung jawab ini. Dan perasaan-perasaan saat aku goyah, ngerasa nggak ada kemajuan.

Temenku yang satu ini supportive banget dalam ber-partner, dia maklumin aku kalau aku nggak sehebat itu. Dia bener-bener nunjukkin kemauan dia untuk belajar di divisi kurikulum. Bareng-bareng.

Jangan merasa ga pede ya, mungkin sekali dua kali lu mempertanyakan apa lu siap jd kadiv, walau pengalaman lu belom banyak, dan jgn terindimidasi dgn kata ketua, just bcs itu lu ketua bukan artinya lu harus hebat dan back up anak2 lu setiap saat, tp karna kita semua di sini juga pengen belajar dan pengen bikin acara ini sukses jadi gw yakin smua bakal saling ngerangkul. gw tau ini susah krn diburu waktu tp harus bagus juga sementara kritikan trs dateng dlm waktu beruntun, tapi gpp pasti bisa, also jangan terintimidasi juga sm mreka yg mungkin punya banyak pengalaman drpd lu jadinya lu merasa ga pantas oki.”

Sesuai perjanjian, namanya juga belajar. Dan aku mau.

Everyone has their own story

Dari sekian banyak cerita orang-orang di atas, itulah yang aku dapetin tentang cara dan definisi belajar. Mungkin hasilnya belum dirasakan sama banyak orang, tapi seenggaknya aku bisa mulai internalizing the value. Dan siap untuk dikasih pembelajaran lain sebagai seorang murid.

Aku juga masih punya segudang cerita orang-orang yang punya mimpi, lalu dengan rapi mereka menata langkahnya untuk sampai pada mimpi tersebut.

Dan dari sekian banyak cerita juga, aku jadi menyadari bahwa kunci dari memegang tanggungjawab adalah dengan disiplin dan fokus. Rakean di selipan ceramahannya bilang, “motivation is a myth and discipline is everything.” Arie dan Fahryan, mereka juga bilang untuk menjadi produktif, “ ya, focus.” Menunggu-nunggu si ‘motivasi’ hadir ini bukanlah hal yang bijak untuk tetap melakukan hal yang benar. Kalau kita mencintai melakukan sesuatu, jangan salahkan perasaan yang dinamis sehingga kita berhenti melakukannya. Daripada begitu, lebih baik membangun cinta dengan tetap melakukannya: that’s what is called discipline. Anjay wkwk

Agak berteori sedikit, aku mau coba menjelaskan nilainya.

Murid Definition

Sering ngga sih melekatkan diri dengan sebutan murid? Baru-baru ini aku menyadari ada doa (atau tuntutan) yang terkandung ketika kita melekatkan diri dengan sebutan murid. Kata murid berasal dari bahasa arab, yang artinya orang yang menginginkan (the willer). Murid diartikan sebagai orang yang menghendaki untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman dan kepribadian yang baik sebagai bekal hidupnya agar bahagia dunia dan akhirat dengan jalan belajar sungguh-sungguh.

Menjadi murid, sejatinya adalah pencarian suatu hal yang agung. Dan sesuatu yang agung itu nggak bisa dicapai tanpa adab. Seorang murid tidak berjalan aimlessly, setiap pembelajaran yang ia lakukan akan berujung pada hikmah dan kebijaksanaan.

Ihdinas Siraathal Mustaqiim,” doa yang selama ini diucapkan secara sadar maupun nggak sadar, maknanya permohonan agar ditunjukkan ke jalan yang lurus. Waktu itu aku diingatkan seorang guru ketika hendak memulai pembelajaran, “Tanamkan bahwa yang kalian lakukan di sini adalah untuk menjemput jawaban dari doa-doa yang selama ini dipanjatkan dalam salat, “Ihdinaashiraathalmustaqiim, tunjukilah kami jalan yang lurus.

Menjadi murid artinya berkeinginan dan bertekad untuk menjemput suatu petunjuk. Kalau disadari, kayaknya nggak bakal deh berleha-leha dan berleyeh-leyeh. Walau naik-turunnya adalah suatu hal yang inevitable.

Kalau gelar itu melakat, ia bisa menjadi bagian dari sebuah definisi. Menjadi murid adalah salah satu definisi yang dibawa kemanapun ia pergi. Sehingga setiap langkah dan perjalanan, genggaman dan perbuatan, adalah pembelajaran yang dilakukan oleh seorang murid, the willer. Ada orang-orang yang sengaja mendefinisikan hal tersebut menjadi suatu konsep yang lebih rapi, salah satunya yang telah mahsyur, adalah siklus yang dikenal dengan Kolb’s Learning Styles.

(sumber: https://www.simplypsychology.org/learning-kolb.html)

“Learning is the process whereby knowledge is created through the transformation of experience” (Kolb, 1984, p. 38).

Kacamata pejalan: manusia berjalan dalam dimensi ruang dan waktu. Cerita dari setiap titik yang melalui kedua dimensi itu adalah pengalaman. Mari jangan cuman melekatkan definisi murid pada bangku-bangku sekolah di saat interaksi hanya ada guru dan siswa. Lalu membuka buku-buku, membahasnya, lalu hanya disimpan. Lebih dari itu, lekatkan ia pada setiap perjalanan hidup, menjadi pengalaman dari proses pembelajaran, agar terintegrasi keilmuan yang diperoleh, agar ilmu itu berbuah amal sehingga ia benar-benar menjadi petunjuk.

(Ingatlah) ketika pemuda-pemuda itu berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa, “Ya Tuhan kami. Berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah petunjuk yang lurus bagi kami dalam urusan kami.”

-Qs. Al-Kahfi:10

Doa setiap kali mau memulai pembelajaran. Jauh membuatku sadar kalau proses belajar adalah perjalanan yang agung. Perjalanan dalam menjemput rahmat (kasih sayang) dan rusyd (petunjuk).

Kalau jadi pembelajar, aku pengen jadi pembelajar yang terbaik. Kalau jadi seorang pejalan, harapannya juga begitu. Kita bisa mendefinisikan diri kita siapa, dan mau ke mana, membawa batu apa. Karena baru-baru ini aku sadar, bahkan peran kita macem di organisasi atau prestasi apapun, ngga cukup mendefinisikan siapa kita. Kita adalah proses yang diinternalisasi.

Jadi gemuruh ini,

“Gemuruh pesatuan di jiwa
Erat lekat
Membara di dada
Menghujam penyerang
Mencabik penindas
Keadilan
Harus ditegakkan
GEMURUH!!”

lebih jelas maknanya, ia adalah semangat, karena kami orang-orang yang berproses untuk “ber-ilmu”. Lalu menegakkan keadilan.

Terimakasih telah banyak memperjelas definisi, teruntuk orang-orang baik yang mau berbagi cerita.

--

--

falihashidqiya
falihashidqiya

Written by falihashidqiya

Suka untuk mengikat temuan-temuan baru, senang juga bila teman-teman ikut tau.

Responses (2)